Kamis, 01 Juli 2010

Bertempur Melawan Pasukan Jin

Walaupun kejadian ini sudah cukup lama, namun masih senantiasa terbayang di depan mata dan seakan baru saja terjadi. Kejadian ini saya alami di daerah transmigrasi. Kebetulan saya mengikuti program transmigrasi pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) Kelapa Sawit.
Saya berangkat di akhir tahun 1989 dan ditempatkan di Desa Majapahit (sekarang Desa Sarigaluh), Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. Saya dan sejumlah keluarga lainnya tergabung di bawah naungan PTPN V Sungai Galuh dan pada wilayah kantor UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) II B Sungai Galuh.
Desa-desa yang bernaung di wilayah PTPN Sungai Galuh, yaitu Desa Mataram, Majapahit, Singosari, Sriwijaya, Pagaruyung, Tambusai, Delimakmur, Pajajaran, Indrapura, dll. Semua nama-nama desa tersebut diambil dari nama kerajaan yang pernah berada di negeri Nusantara. Mungkin, pihak PTPN V Sungai Galuh berharap agar desa-desa yang berada di wilayahnya bisa jaya dan berkembang dengan pesat seperti kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau.
Sayangnya, setelah sekian lama berada di tanah yang baru, kemajuan tersebut tidak juga dirasakan oleh warga desa tempat saya dan keluarga tinggal. Dama desa Majapahit malah menjelma menjadi suatu kenyataan hidup yang benar-benar pahit.
Betapa tidak? Waktu kami datang, rumah yang diperuntukan bagi kami telah ditumbuhi semak belukar dan ilalang setinggi atap.  Sedangkan lahan plasma untuk tanaman sawit sebagian baru ditebang pohon-pohonnya, meski ada juga kelapa sawit yang baru ditanam.
Tentu saja kami kami harus berjuang keras untuk dapat bertahan hidup di perantauan. Keadaan yang kami hadapi mungkin sama sulitnya dengan dulu ketika R. Wijaya yang pada awalnya membuka hutan tarik untuk dijadikan sebuah kerajaan yang kemudian bernama Majapahit, yang kelak di kemudian hari bisa menggema sampai ke mancanegara.
Lepas dari angan-angan tersebut, di areal Desa Majapahit tempat kami tinggal, menurut cerita para pekerja yang dulu membuka lahan, memang penuh dengan berbagai gangguan dari makhluk halus. Bahkan, banyak korban jiwa dari para pekerja yang disebab oleh gigitan ular, malaria, dan berbagai sebab lainnya.
Kendati kehidupan kami benar-benar pahit, namun kami masih tetap bersyukur pada Allah dan berterima kasih pula pada pemerintah yang telah memberikan tempat tinggal dan lapangan pekerjaan bagi kami. Keadaan juga masih bisa tertolong sebab ketika itu kami masih mendapat Jadup (Jatah Hidup) yang jumlahnya tidak seberapa besar.
Di tengah kehidupan masyarakat masih sangat menderita, maka ada juga warga trans di desa kami yang sengaja berkolaborasi dengan bangsa jin. Di samping karena rendahnya kadar iman, hal ini mungkin juga karena mereka tidak mau hidup menderita di daerah perantauan. Mereka akhirnya terpaksa menempuh jalan sesat yang amat dimurkai oleh Tuhan.
Memang sulit meyakini keberadaan wahana pesugihan di tanah yang masih relalif baru ini. Bahkan, saya sendiri sempat meragukannya. Bukankah cerita mengenai pesugihan hanya ada di Tanah Jawa yang memang penuh dengan mistik?
Berawal dari suatu kejadian yang sangat mendebarkan, saya akhirnya terpaksa harus meyakini bahwa bentuk-bentuk penyesatan iblis lewat iming-iming harta duniawi memang bisa ada di mana saja. Kisahnya sendiri berawal sewaktu  anak balita tetangga kami yang bernama Rusdi, tiba-tiba menderita sakit. Sudah dibawa berobatk ke mantri terdekat namun tidak juga sembuh. Setelah dibawa ke puskesmas dan sempat ditangani dokter, sakit si kecil juga tidak kunjung sembuh. Bahkan, Kang Rusdi juga sudah berusaha meminta bantuan orang-orang yang dianggap mampu dalam hal pengobatan alternative, tapi nyatanya tidak ada hasilnya.
Mungkin karena menemukan jalan buntu, Pakde Kardiyo yang rumahnya bersebelahan dengan Kang Rusdi datang ke rumahku. Di kampong halaman kami, Pakde Kardiyo yang masih familiku ini memang tahu kalah aku banyak faham tentang ilmu-ilmu gaib. Pakde menceritakan keadaan anaknya Rusdi yang sudah sakit sekian lama itu. Karena keadaan si anak yang amat memprihatinkan, Pakde meminta tolong kepadaku agar mau mengobati anak itu.
Terus terang, saya agak keberatan dengan permintaan Pakde Kardiyo ini. Bukannya tidak mau menolong, namun saya menganggap masih terlalu muda untuk melakukannya. Saya takut nanti ada orang yang salah tafsir, mengangka kalau saya ingin pamer ilmu dan segala macamnya. Ringkasnya, saya merasa tidak pantas untuk dituakan.  Apalagi, banyak orang yang sudah tua tak sanggup menolong menyembuhkan sakit anaknya Kang Rusdi.
“Ini demi kemanusiaan. Kamu harus menolongnya. Tidak usah punya kecurigaan yang macam-macam!” Desak Pakde Kardiyo setelah mendengar alasanku.
“Baiklah kalau begitu, Pakde. Tapi maaf, saya tidak bisa datang langsung ke rumah Kang Rusdi. Berikan saja air putih ini kepada anaknya. Insya Allah, saya akan bantu mendoakannya dari jauh,” jawabku kemudian sambil memberikan sebotol air putih yang telah kuberi doa-doa khusus kepada Pakde Kardiyo.
“Tolong minumkan air ini sedikit kepada anak yang sakit, sisanya usapkan ke ubun-ubun juga ke telapak kakinya. Insya Allah akan segera sembuh!” Pesanku pada Pakde Kardiyo sebelum dia melangkah pergi.
Anehnya, sebelum Pakde Kardiyo menghilang dari hadapanku, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk menyuruh Indin menemaninya pergi ke rumah Kang Rusdi. Indin ini adalah salah seorang muridku. Meskipun masih bujangan, namun telah memiliki ilmu yang cukup banyak.
Singkat cerita, sampai Pakde Kardiyo dan Indin ke rumah Kang Rusdi. Tanpa banyak basa-basi Pakde memberikan air putih titipkan pada Rusdi, dan menyampaikan pesanku agar air itu diminumkan sedikit dan sisanya dibasuhkan pada ubun-ubun, juga telapak kaki si anak yang sakit.
Setelah melaksanakan hal itu, mereka ngobrol tentang berbagai hal sambil menunggui anak Kang Rusdi yang sakit. Syukur Alhamdulillah,  setelah diberi air itu si anak kelihatan agak ceria dan mulai segar lagi.
Ketika Kang Rusdi dan isterinya gembira menyaksikan anaknya yang sepertinya akan berangsur sembuh, tiba-tiba terjadi keanehan. Indin berkata-kata seorang diri, “Kalau berani lawan aku! Jangan hanya berani mengganggu anak kecil saja!”
Sambil menantang demikian, mata Intin melotot tajam. Menyaksikan hal ini, spontan semua yang hadir ketakutan. Mereka tentu heran dan bertanya-tanya kepada siapa sebenarnya Indin marah, sehingga menantang semacam itu? Rupanya ada jawaban yang tak kalah menggetarkan, entah datang dari mana.
Anehnya, ketika semua orang tercekam oleh keheranan, tiba-tiba saja terdengar suara tanpa wujud yang menjawab tantangan Indin barusan, “Baik, kuterima tantanganmu. Kutunggu kamu di rumah Suwarjo. Kita duel di sana!” Nah, Suwarjo adalah namanku.
Karuan, munculnya suara gaib ini membuat suasana bertambah tegang. Celakanya, setelah mendengar suara itu, Indin nampak lemas.
Sore harinya, semua kejadian aneh yang terjadi di tempat Kang Rusdi aku dengar sepenuhnya dari mulut Mardi, teman Indin yang menyaksikan peristiwa tersebut. Aku sendiri cukup terpukau mendengarnya. Yang membuatku heran, mengapa suara gaib itu menghendaki pertempurannya dengan Indin dilakukan di tempatku?
Akhirnya, waktu yang ditentukan tiba. Malam itu Indin datang bersama sejumlah orang, yakni: Pakde Kardiyo, Sukoyo, Mardi, Sarkiyo, dll. Mereka kurang lebih ada sepuluh orang. Saat rombongan itu datang, saya masih asyik nonton acara TV.
Kebetulan malam itu bulan sedang purnama sehingga sinarnya menembus segala penjuru. Sewaktu mereka masih kongko-kongko di beranda rumah, tiba-tiba, saja Indin melompat dan menerjang ke sana ke mari dengan menggunakan Ilmu Macan Tunggal yang pernah kuajarkan padanya. Rupanya, pertarungan itu sudah dimulai.
Ketika aku muncul di halaman rumah, tiba-tiba datang angin yang sangat kencang bergemuruh. Bersamaan dengan itu, langit yang semula cerah berubah jadi gelap. Awan hitam bergulung-gulung.
Saya berdiri menyaksikan pertempuran itu, sementara yang lain sembunyi. Sebenarnya ada perasaan gentar juga melihat keadaan yang semacam itu. Sambil siap dengan sedikit ilmu yang saya miliki untuk berjaga-jaga dari hal-hal yang mungkin terjadi, saya berteriak menyemangati Indin, “Ayo, lawan terus jangan takut!”
Memang, kalau dilihat dengan mata telanjang, Indin itu sepertinya hanya terlihat menerjang dan menerkam ke sana-kemari seakan tanpa ada lawan. Namun jika dilihat dengan mata batin, jin-jin terus merangsek Indin. Mereka terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang berujud pocong, genderuwo, macan, babi, kuntilanak, dan lain-lain.
Rupanya, para jin itu benar-benar marah dan ingin membinasakan Indin. Mungkin merasa terhina oleh tantangannya.
Akibat pertempuran itu menimbulkan efek energi negative yang sangat kuat. Langit yang tadinya terang dan cerah, berubah menjadi gelap. Angin pun datang dengan gemuruhnya.
Suasana bertambah tegang. Saya memperhatikan dengan seksama kedua belah pihak yang sedang bertempur, sambil memohon perlindungan Allah. Sedang kawan-kawan yang lain tetap menonton sambil bersembunyi di kejauhan.
Setelah pertempuran berlangsung cukup lama dan sangat menguras tenaga, akhirnya Indin terpental tepat di hadapanku berdiri.
“Bagaimana keadaanmu, Din? Berapa jumlah mereka?” Tanyaku sambil memegang pundaknya.
“Aku kalah. Mereka jumlahnya banyak sekali, Mas!” Jawabnya dengan nafas tersengal-sengal.
“Gunakan Ilmu Pamungkas Kaca!” Perintahku.
Setelah terdiam sejenak, kembali Indin bangkit dan menerjang ke depan. Namun kali ini tidak mencakar dan menerkam, tapi hanya sesekali seperti orang yang sedang bersilat. Kadang, dia seperti orang sedang bermeditasi, berdiri tegak menahan serangan. Namun, setelah cukup lama akhirnya pertahanannya goyah juga. Indin kembali  terpental dan jatuh di depanku.
“Bagaimana keadaanmu, Din?” Tanyaku.
Dia hanya terdiam  sambil memegangi dadanya. “Aku minta dibantu, Mas!” Pintanya dengan suara lemah memelas.
“Baiklah kalau begitu,” jawabku sambil maju ke arena pertempuran.
Dengan satu keyakinan bahwa kebenaran akan selalu mengalahkan kebatilan, aku menyerang mereka dengan tanpa ampun. Dengan hening da khusyuk kugunakan Ilmu Rajut Jala Kencono yang kumiliki.
Kulontarkan ilmu Rajut Jolo Kencono tersebut pada jin-jin yang terus menyerangku. Atas ijin Allah mereka terjerat sebentuk sinar gaib menyerupai jaring laba-laba. Semakin mereka meronta, maka semakin kuatlah jaring itu menjeratnya. Padahal, jaring itu beracun dan bisa membunuh jika saya mau. Tapi saya tidak akan melakukannya karena satu-satunya dzat yang berhak mengambil nyawa makhluknya hanyalah Allah SWT.
“Mereka semua sudah tertangkap. Terserah mau kau apakah mereka,” kataku pada Indin yang dari tadi hanya tertunduk lesu.
Mendengar ucapanku, bagaikan mendapat suplay energi baru, tiba-tiba Indin bangkit dan menerjang lagi. Rupanya dia ingin menggunakan kesempatan ini untuk membalas dendam atas kekalahannya. Padahal, para jin itu sudah tidak berdaya.
Sejenak saya hanya bisa terdiam memperhatikan apa yang diperbuat Indin yang tengah melampiaskan dendamnya pada mereka.
“Sudah cukup, Din. Mereka sudah lemah dan kalah. Kasihan mereka, mereka juga makhluk Tuhan. Jangan disksa!” Pintaku padanya.
Namun Indin terus mengamuk. Sampai akhirnya dia terkapar di tanah karena kehilangan energi dan kesadaran.
“Tolong angkat dia ke dalam rumah!” Pintaku pada kawan-kawan yang dari tadi hanya menonton.
Akhirnya Indin dibaringkan di lantai beralas tikar. Bersamaan dengan itu, di luar turun hujan lebat disertai angin gemuruh. Derasnya hampir-hampir mengganggu percakapan kami, karena rumah kami hanya beratapkan seng.
“Lepaskan bajumu!” Pintaku pada Indin yang masih tergolek tapi matanya mulai terbuka. Tubuhnya mulai kaku, giginya gemertak. Dia ingin meronta. Aku tahu kalau sesosok jin tengah merasuk ke dalam wadagnya, sebab marah akibat perlakuan Indin tadi.
“Siapa namamu, dan darimana asalmu?” Tanyaku.
“Kamu akan tahu sendiri siapa aku. Aku ini salah satu panglima jin yang berasal dari Jawa. Karena ada yang meminta bantuanku maka aku juga mengikutinya sampai ke sini.” Jawab suara dari mulut Intin. Berat menggema
“Ooo…begitu toh!” Kataku
Setelah kudesak, jin yang merasuki tubuh Indin itu menceritakan kalau ada seseorang yang membutuhkan bantuannya dalam berbagai hal, misalnya untuk pengawal pribadi, pengawal rumah dan untuk membantu dalam mencari pesugihan.
Setelah bernegosiasi dan sedikit mengancam agar dia segera keluar dari raga Indin, akhirnya jin itu bersedia pergi. Bahkan, dia berjanji akan secepatnya pulang ke Jawa.
Setelah itu suasana kembali tenang. Indin juga sudah sepenuhnya sadar. Bersamaan dengan itu hujan deras reda. Langit cerah, dewi malam kembali menyapa ramah, seakan ikut menyambut kebahagiaan atas kemenangan kami semua.
Jarun jam di dinding menunjukkan tepat pukul 02 dinihari. Berarti sudah hampir 7 jam lamanya kami semua mengalami hal yang menegangkan.
Puji syukur kehadirat Ilahi Robbi atas segala karunianya sehingga semua selamat dan terhindar dari marabahaya. Tapi ada sesuatu yang sangat mengherankan. Ternyata hujan yang tadi bagaikan dicurahkan dari langit itu, tidak membasahi rumah dan pekarangan tetangga di kiri kanan rumahku. Aneh sekali, hujan itu hanya mengguyur pekarangan rumahku. Apa yang terjadi?
Aku tak bisa menjawabnya. Tapi aku yakin, ini adalah kehendak Allah Yang Maha Berkehendak.
Semoga kisah nyata ini menjadikan pengalaman bagi saya dan pelajaran bagi kita semua, bahwa kita ini makhluk yang lemah yang selalu membutuhkan pertolongan hanya kepada Allah, Penguasa Alam Semesta. Bukan pada yang lain

2 komentar:

  1. Subhanallah sngguh luar biasa jika kjadian ini benar benar trjadi .

    BalasHapus
  2. Mantap kang saya sangat suka dgn pertempuran macam ini

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan pesan